Selama ini ada anggapan semua anak-anak terlahir dengan bahagia. Tak peduli dimana anak-anak tersebut dibesarkan atau bagaimana cara orangtua mendidiknya hingga ia menjadi seorang dewasa.
Tapi ternyata tidak demikian. Kebahagiaan adalah bentuk dari suasana hati dan bukan merupakan sifat bawaan. Apalagi tidak ada yang namanya gen bahagia. Karenanya tidak semua anak terlahir untuk menjadi bahagia.
Lisa Elliot, penulis buku 'What's Going on in There? How the Brain and Mind Develop in the First Five Years of Life' menuturkan bahwa tidak semua anak terlahir bahagia.
Ada banyak aspek yang membuat anak terlahir bahagia tapi bukan karena pembawaan si bayi. Aspek-aspek tertentu dari temperamen alami bayi, seperti apakah dia optimistis atau pesimistis, pemalu atau pemberani kemungkinan akan memainkan peranan dalam menentukan bagaimana seorang anak menjadi bahagia.
Tapi bukan berarti anak-anak yang memiliki sifat cemas atau mudah marah, saat remaja menjadi seseorang yang tidak bahagia atau tertekan.
Menurut Elliot meskipun temperamen ditentukan secara alami, tapi hal ini tidak berarti bersifat permanen. Karena temperamen dimodifikasi oleh pengalaman hingga nantinya membentuk suatu kepribadian.
Yang tak kalah pentingnya apakah si anak akan bahagia atau tidak adalah peran otaknya. Dikutip dari Babycenter, Senin (16/8/2010), kepribadian anak diatur oleh otak lobus frontal otak yang menentukan sumber emosi positif dan juga negatif.
Seseorang akan mengalami perasaan 'baik' di bagian korteks frontal sebelah kiri dan perasaan 'buruk' di bagian korteks frontal sebelah kanan.
Sehingga orang-orang yang cenderung lebih bahagia akan memiliki aktivitas lebih di bagian korteks frontal sebelah kiri.
Pada anak-anak, bentuk dari lobus frontal ini berdasarkan pengalaman yang dialami oleh anak-anak dan akan terus berkembang setidaknya hingga akhir remaja.
Karena itu faktor lingkungan dan orang-orang disekitarnya turut mempengaruhi apakah nantinya anak akan menjadi orang bahagia atau tidak.
No comments:
Post a Comment